19 November 2009

Coretan Sederhana di Sebuah Dinding Digital

Saudaraku yang dimuliakan Alloh, masih ingatkah engkau dengan sepenggal kisah di suatu waktu itu. sebuah kisah yang indah di suatu tempat di bumi Alloh yang luas.
Kisah tentang awal perjumpaan, perkenalan, interaksi dan perpisahan kita. Masih teringat dengan jelas awal perjumpaan itu, tempat, waktu, wajah dan bahkan cuaca saat itu. Tak mewah tempat itu memang,hanya beralaskan rumput hijau,dibawah naungan pohon yang rindang, di sore hari yang cerah. Malu, gugup, canggung, dan banyak lagi perasaan lainnya yang masih susah ku gambarkan dengan kata. Wajah-wajah yang meneduhkan sekali,mungkin itu kata yang bisa ku gunakan untuk menggambarkan tentang saat itu.
Pertemuan awal yang berlanjut dengan pertemuan-pertemuan lainnnya, lingkaran kecil yang seiring dengan waktu semakin membesar dan meluas.
Engkaulah dulu yang mengajakku untuk berada dalam barisan ini. Engkaulah yang mengajakku untuk sama-sama menikmati nikmatnya berdiri dan kemudian bertilawah di malam hari yang sunyi. Engkaulah yang mengajarkan tentang indahnya sebuah kebersamaan dalam kerja-kerja dakwah.
Masih teringat dengan jelas,suaramu yang menenangkan ketika sore hari itu engkau tilawah. Maafkan aku saudaraku,aku menangis mendengarnya… masih teringat dengan jelas juga, bagaimana perasaan diri ini ketika tahu ternyata banyak sekali amalan-amalan nafilah yang senantiasa engkau jaga.
Aktivitas yang engkau lakukan, mulai dari akhir malam, pagi hingga sore hari dan berlanjut di malam harinya. Dan indahnya engkau pun menyapa pagi dengan penuh semangat dan senyum yang tak lepas dari wajahmu. Semua aktivitasmu itu melelahkan pasti… tapi engkaulah yang telah mengajariku untuk menikmati semua kelelahan-kelelahan itu.
Hari, pekan, bulan dan tahun pun dilalui dengan kebersamaan. Saat ini, lingkaran itu semakin bertambah luas saudaraku… melintasi batas daerah bahkan lautan. Bagaimanakah kabarmu saat ini? Bagaimana kabar imanmu disana saudaraku? Bagaimana kabar amalan ubudiyah yaumiyah dan nafilah-mu saudaraku? Masihkah engkau disana menikmati kelelahan-kelelahan itu?
Saudaraku yang dirahmati Alloh, semoga kita bisa kembali bertemu, terima kasih atas semua jasa-jasamu dan tolong maafkan aku bila ada salah padamu. Semoga Alloh senantiasa menjagamu saudaraku, menguatkan komitmenmu di atas jalan kebenaran yang pernah dilalui oleh para nabi dan rasul ini. Semoga ikatan ukhuwah ini kan senantiasa terjaga, kekal dan abadi dalam kasih sayang Alloh SWT.

“Kan kupanjatkan doa dari hati
Semoga kita selalu berada di dalam lindungan cinta-Nya
Teman, Di tempat yang akan engkau tuju
Ridho Alloh kan bersamamu selalu
Untuk meneruskan perjuangan
Menegakkan kejayaan Islam”
(Azzam-senior)

Syahwatnya Syahwat

Setelah perempuan dan harta, maka bagian ketiga dari trilogi dunia adalah kekuasaan. mari sama-sama kita simak perkataan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, “ Saya telah mempelajari seluruh syahwat manusia. Yang kutemukan kemudian adalah fakta bahwa syahwat paling kuat dalam diri manusia ternyata syahwat kekuasaan. Hanya untuk syahwat ini manusia rela mengorbankan seluruh syahwatnya yang lain. Tapi hanya kekuasaan juga yang dapat memberi saluran bagi seluruh syahwat manusia. “
Itu sebabnya banyak pahlawan yang kuat ketika digoda dengan godaan perempuan dan harta, tapi ketika dihadapkan pada kekuasaan yang berada di genggaman tangan maka akhirnya gugur juga. Meremehkan kekuasaan yang ada dalam genggaman tangan, meninggalkannya dengan sadar dan enteng mungkin lebih susah. Mungkin inilah yang disebut syahwatnya syahwat. Kekuasaan yang kamu peroleh setelah terjatuh, merangkak, terluka dan berdarah-darah. Setelah semua gerakmu dalam hening dan sepi. Sekarang, ketika kekuasaan itu ada di tanganmu, kamu harus melepaskannya, dengan sadar dan enteng. Sambil tersenyum pula.
Tak  diperlukan peluh dan darahmu lagi disini, tak perlu hening dan sepi itu kau rasakan lagi, tak perlu lagi otak berpikir terlalu keras disini. Hanya sebuah perlawanan abadi, perlawanan melawan dirimu sendiri. Dan disinilah para pahlawan sering kali terjatuh, karena tak semua yang mereka lihat, dengar dan rasakan benar adanya. Apakah benar ini yang menjadi obsesimu? Hanya sebatas ini? TIDAK, kamu harus berhasil melampauinya. Ada akhirat yang abadi yang menjadi tujuan sebenarnya. Kamu harus terus berlari, melampaui semua fatamorgana ini, karena terminalmu masih jauh.
“Hanya ketika kamu menganggap kekuasaan sebagai beban, kamu akan mencari celah untuk melepaskannya. Hanya ketika beban pertanggungjawaban menyiksa batinmu, merebut privasimu, membuatmu takut setiap saat, kamu tidak akan pernah bisa menikmati kekuasaan. Kamu pasti lebih suka meniggalkannya. Hanya ketika itu kamu jadi pahlawan.” (Anis Matta)